Malam itu, seorang Putri berjalan di tepian jalan. Mencari jalan pulang, ke bulan katanya. Sembari mengulum senyum, di bawah terangnya bulan ia melangkahkan kakinya setapak demi setapak. Wajahnya tak menampakkan kegundahan dan keresahan, sama sekali. Namun di dalam hatinya aku tau, ia berkecamuk, frustrasi, marah, kecewa, dan lelah.
Kutatapi gaun jingganya yang menjuntai. Bergoyang goyang diterpa angin, cantik sekali. Nampak langkahnya kian menjauh, melewati horizon, menginjak lapisan demi lapisan langit. Menuju tempat yang selalu ia dengung dengungkan dalam pikirnya, bulan. Mana bisa aku menahannya, keputusannya sudah bulat. Bukan, bukan di bumi ia ingin tinggal. Maka kubiarkan saja ia melangkah menjauh meski gontai. Aku mengerti ada keengganan dalam sebagian hatinya untuk pergi. Namun toh akhirnya dia melakukannya juga. Meninggalkanku hidup sendiri di bumi.
Mungkin besok tak akan pernah kulihat lagi dirinya, senyumnya dalam balutan gaun jingga menjuntai. Karena malam ini ia telah pergi menapaki lapisan lapisan langit. Semakin jauh, tanpa kusadari. Ia ibarat balon udara yang kulepas ikatannya, dan terbang jauh, menjauh ke langit, kemudian hilang dan aku tak pernah melihatnya lagi sepanjang hidupku. Mungkin aku akan menemukan balon dengan warna yang sama, namun percayalah. Itu bukan balon yang kulepaskan hari itu ke langit.
Begitu pula ia. Mungkin akan ada orang lain bergaun jingga menjuntai yang akan aku temui. Namun aku yakin, itu bukan dia. Aku hanya mampu memandangnya jauh. Menyepuh rindu mengharap waktu mengizinkanku untuk bertemu.
Begitulah, seorang Putri pulang hari ini. Membuatku sendirian di bumi.