Sebelum memori manisku denganmu habis terkikis lobus-lobus otakku yang mengalami degenerasi, terkadang ingatanku itu harus kutuangkan dalam tulisan. Seperti pensieve. Aku takut tidak akan ada memori manis lagi antara kita. Karena hubungan kita sudah sangat jauh lebih renggang, hubungan kita sudah terlanjur tidak bisa kembali seperti dulu. Karena sudah terlalu banyak orang lain di antara kita.
Aku bersyukur, kau pernah menjadi sosok yang selalu aku rindukan. Yang selalu aku turuti, yang membuatku menangis tiap kau pergi, yang janjinya tetap kutunggu dan selalu aku percaya.
Hingga nanti aku punya cucu, mungkin hanya segelintir memori ini yang mampu aku bangga-banggakan di pikiranku. Pernah merasakan sosokmu, sebagai sosokmu. Aku tidak menuntut lebih, karena memang sudah tidak mungkin lagi aku meminta lebih darimu.
Sampai hari ini, kadang engkau masih menjadi alasanku untuk menangis, seperti dulu. Seperti Minggu-minggu sore saat kau bilang akan pergi. Dan sampai sampai hari ini, aku masih menunggu, jika kau berjanji untukku. Ya, ternyata aku masih seperti dulu. Aku tidak mengharapkan kau ada untukku, hanya sisi melankolis ini yang menuntunku selalu mencari-cari memori manis ketika kita adalah kita. Ketika sosokmu, ada dalam sosokmu. Ketika aku belum mampu menganalisis kenyataan dan merasakan pahitnya realita. Ketika aku terperangkap dalam tubuh kecilku.
Aku terlalu banyak omong, singkatnya aku rindu.
Aku terlalu banyak omong, singkatnya aku rindu.
No comments:
Post a Comment